Senin, 13 Mei 2013

Orkers Melayu? Kenapa Tidak...






Keberadaan panggung hiburan yg bertajuk Orkes Melayu mungkin masih menjadi suatu ajang komersial yg kontroversional. Yg pro menganggapnya sebuah seni yg menghibur, sedang kubu yg kontra mengecapnya dengan beribu macam nilai negatif sehingga mencetuskan gagasan bahwa pementasan grup musik yg membawakan irama lagu "koplo" itu tak pantas dipertontonkan. Entahlah, alasan apa yg mendasari benak mereka sang kritisi sehingga seolah mengharamkan kehadiran sebuah Orkes Melayu, dari irama musiknya yg bisa mengundang gairah, busana artis wanitanya yg tidak menutup aurat, sampai erotisme panggungnya yg dihiasi goyangan badan tak senonoh oleh para biduan penyanyinya, seakan tak menemui titik buntu akan ide yg membuahkan kritik pada kepopuleran grup dangdut itu.
Orkes Melayu itu kan sebuah grup pentas yg justru kental dengan alunan alunan tembang dangdut, mereka justru lebih banyak membawakan tembang tembang jawa seperti tembang Campur Sari, yg mana itu merupakan sebuah budaya daerah, dengan begitu bukankah keberadaan mereka justru menjunjung tinggi kesenian daerah yg niscaya bakal luntur jika tak dilestarikan, seperti tembang "ojo dipleroki" yg syairnya pun mengingatkan kita untuk tak meninggalkan adat dan budaya ketimuran.
Pun ketenaran suatu nama Orkes Melayu juga terlahir dari angka nol, mungkin saja mereka dulunya adalah seorang musisi jalanan, lalu merintisnya dari panggung hiburan lokal, yg melalui tahap demi tahap serta perjalanan yg panjang hingga akhirnya mereka bisa berkibar bersama bendera yg digawanginya sekarang, masa setelah kiprahnya meraih kesuksesan seperti saat saat sekarang mereka harus turun pamor begitu saja lantaran lemparan sebuah kritikan. Bukankah dari segi karir mereka adalah sama sama musisi, sama sama insan yg menngeluti dunia musik, sama sama manusia yg berkecimpung di dunia seni, sama halnya dengan grup band papan atas yg tengah populer kan?
Soal fashion dan style saat manggung, mungkin kata "hot" untuk sekarang ini hanya ada di sedikit dari nama grup Orkes Melayu, itupun bukan dari nama nama yg tengah melejit seperti OM. New Pallapa, OM. Monata, OM. Sera, dsb. Sekarang bukan jamannya lagi tampil dengan busana minimalis dan lenggangan tubuh yg tidak wajar, tren manggung era sekarang justru lebih tegap untuk menjual suara daripada mengedepankan penampilan yg semi pornografi.

Wiwik Sagita.


Gisulnya itu loh...
Nih pas manggung, selalu pakai Yukensi...
Emang elegan ya pakai Yukensi...
 Artis kelahiran kota Gresik yg identik membawakan tembang tembang melow, bukan saja suaranya yg khas dengan nada tinggi, namun juga khas dengan goyangan jaipongnya, yg bila dinikmati terkesan pas banget dengan irama panduan alat musik yg disajikan oleh delapan orang personil di belakangnya. Rambutnya yg hitam panjang, pipinya yg lesung saat tersenyum dan giginya yg gisul, dengan khas memakai busana yukensi, menambah aduhai keindahannya saat melantunkan lagu melayunya. Sama sekali tak ada unsur yg menunjukkan adanya sebuah erotisme yg menyimpang dari kesopanan.

Rena KDI.

Auranya lugu...
Pas lagi manggumg nih...
Emang se'Anggun namanya...
Anggun Rezeky Rena Wengi, mengawali kiprah tarik suaranya di ajang Kontes Dangdut TPI yg akhirnya melekat pada namanya di kancah Orkes Melayu. Gadis belia berdarah Blitar yg kerap melantunkan lagu "Mawar Bodas" bersama OM. Monata ini tak ubahnya dengan liuk tubuh ala Wiwik, jaipongan. Suaranya yg serak serak basah, dipadu dengan aura wajahnya yg lugu, sangat cocok membawakan tembang yg bersyair sedih dan bernada kalem.

Ratna Antika.
Senyum dikit lagi donk, biar nampak Gisulnya...
Yah... Gisulnya masih belum nampak...
Biduanita asli Banyuwangi ini lebih cocok menyanyikan lagu yg bernada semi rock, dengan wajah cantik yg juga dihiasi dua buah kegisulan pada giginya, terasa pantas beraksi di atas panggung menyelaraskan nada irama rock-dut'nya dengan stylenya yg berbeda dari para sahabatnya, sepertinya jelita kelahiran 2 September 1990 ini punya inovasi gaya tersendiri, yg itu berarti menambah nilai akan kreatifitas di bidang yg ditekuninya.

Agung Juanda.

Lagi duet sama Vivi Rosalita
Kalau ini sama Lilin Herlina
Aduh,,, enak banget dirubung lima biduanita...
Salah satu artis vokal pria, yg dalam penampilannya sering mengenakan "blangkon" di kepalanya, mengentalkan nuansa kejawaan tembang yg dibawakan.

Nah, itu hanya sedikit dari semua artis terkenal yg biasa membintangi beberapa nama Orkes Melayu yg tengah berkibar. Diamati sedetail apapun juga, tak terasa adanya sebuah unsur pornografi yg menyimpang dari ajang hiburan seni musik dangdut. Buat aku, kehadiran Orkes Melayu adalah murni sebuah hiburan, yg indah untuk disaksikan, didengar, dan diresapi, tiada niat untukku menantikan adanya sebuah erotisme yg suka menjadi kontroversi. Apalagi dengan jiwaku yg amat mencintai adat istiadat dan budaya ala daerahku, sungguh adem rasa hati ini tatkala mendengarkan dendangan musik yg megiringi artis favoritku menyanyikan tembang tembang Campursari Jawa. Jadi jika ada tanya untukku tentang keberadaan Orkes Melayu, maka jawabannya, Kenapa Tidak?

Runtuhnya Kejayaan Wartel


Selama apa sih anda mengenal Hand Phone? Ya bagi anda yg dari dulu memang sudah eksis dengan HP, mungkin kehadirannya sudah bukan hal baru lagi di genggaman anda. Namun bagi orang kampung seperti saya, yg bukan serta merta tertinggal dari kemajuan teknologi akan tetapi juga dalam hal budget sebagai prasarananya, rasa rasanya HP itu masih sebuah sesuatu yg baru.
Anggapan demikian mungkin lantaran sebelumnya saya sempat mengenal dan memanfaatkan jasa wartel, hal itu menciptakan compare dalam diri tentang romantika komunikasi dahulu dan saat ini, sehingga semasih wartel belum hilang sepenuhnya dari nostalgia kita, kehadiran telepon selular dalam genggaman masih saja terasa belumlah lampau.
Realitanya, walaupun sebatas suara namun komunikasi pada saat itu belumlah segampang yg dilihat mata pada saat ini. Untuk membicarakan sesuatu yg penting ataupun sekedar melepas rindu, saat itu harus memakai jasa telepon yg disediakan wartel. Dan bagi yg tempat tinggalnya berjarak dengan jangkauan wartel maka muncul satu beban lagi, yaitu urusan transportasi karena bersamaan dengan eksistensi wartel dulu yg namanya sepeda motor belumlah menjamur seperti sekarang, lebih lebih di kampung saya.
Akan bertambah susah lagi apabila yg dihubungi tidak menjawab. Untuk saat ini urusan seperti itu tidaklah terlalu menuai masalah dalam konteks yg ingin dibicarakan bukanlah sesuatu yg penting dan sesegera mungkin, dengan HP yg portable kita bisa setiap waktu sekali mengulangi panggilan, pun tidak demikian besar kemungkinan nomor yg hendak dituju akan melakukan panggilan balik begitu mengetahuinya, lha kalau dulu masa mau telepon balik ke wartel?
Di daerah saya dulu, Purwantoro-Wonogiri, jika hendak ke wartel awalnya harus ke Jawa Timur, minimal harus ke kecamatan Sumoroto, tapi kalau ingin yg lebih terjamin kejernihannya harus ke kota Ponorogo.
Lambat laun akhirnya di Purwantoro pun terdapat wartel, sedikit mengurangi beban dalam hal transportasi serta efesiensi waktu. Makin hari wartel di Purwantoro pun makin pula berimbuh, sehingga memungkinkan orang memilih dimana watel yg terjamin sambungan suarannya, dan tentunya juga mengurangi antrian jikalau secara kebetulan beberapa orang ingin melakukan panggilan telepon dalam waktu yg bersamaan.
Sebagai alternatif dalam mengurai persaingan antar watel, ada satu wartel yg menyediakan layanan penerimaan telepon. Jadi seandainya ada keluarga kita yg merantau di luar daerah ingin membicarakan sesuatu atau hanya sekedar memberi kabar pada kita yg di kampung, maka bisa telepon ke nomor wartel tersebut, dan penjaga watel itu akan mengubah suara yg disampaikan dalam bentuk teks, kemudian selembar kertas yg telah tertulis pesan itu akan diantarkan oleh tukang ojeg ke alamat kita, dan kita hanya dikenakan administrasi untuk membayar jasa tukang ojegnya saja, soal jasa wartel 100% free.
Seiring pesatnya teknologi, satu demi satu operator selular menggercar pembangunan tower di berbagai penjuru bahkan hingga ke pelosok, tidak terkecuali di daerahku. Sedikit demi sedikit orang pun mulai mengenal HP, di dukung sinyal yg makin hari makin kuat serta harga HP yg justru relatif terjangkau hingga kalangan bawah, membuat para pengusaha wartel mulai gragapan memperjuangkan eksisitensinya sebagai mitra para pengguna telepon kabel, dan seperti tinggal menunggu waktu, lambat namun pasti wartel pun satu per satu harus menelan pil pahit lantaran ditinggalkan customer yg beralih ke telepon selular, dan di situ lah masa kejayaan wartel harus runtuh diluluh lantahkan keganasan teknologi.