Selasa, 20 Agustus 2013

Indahkan Indahnya Pantai Srau Pacitan

Jejak jejak telapak mengukir hamparan pasir putih,
angin semilirnya menembus hati,
gemuruh deburan ombak mengobarkan tekad,
pasang surut gelombang menciptakan keceriaan basah basahan,
batu karang terus tersenyum menyaksikan luapan gembira di Pantai Srau.


Buat anda yg suka akan keindahan pemandangan laut lepas dan pantai, pantai Srau mungkin bisa dijadikan rencana tujuan berwisata nanti. Namanya memang tak sefenomenal pantai Kuta atau Sanur di Bali, namun siapa sangka pantai mungil di Pacitan ini tak kalah dalam menjanjikan keindahan pesonanya.
Jalan akses masuk dari jalan raya memang belum memadahi untuk para wisatawan, selain naik turun dan berkelok, lebar jalan perkampungan itu hanya cukup untuk berpapasan dua mobil kecil saja. Ini menggambarkan bahwa pantai Srau memanglah belum begitu dikenal oleh para wisatawan.
Namun, rasa deg-deg'an dalam beradrenalin menyusuri jalan nan sempit, niscaya spontan berubah menjadi rasa yg menggebu gebu untuk segera menginjakkan kaki di hamparan pasir putihnya saat kita tiba di gerbang masuk pantai ini.
Belum ada area parkir khusus yg disediakan, semua kendaraan boleh di parkir tak jauh dari bibir pantai di sela sela pohon kelapa.


Begitu turun dari mobil, telapak kaki langsung disambut oleh pasir putih. Dari sini terlihat jelas keindahan pantai Srau dengan segala pesonanya, batu karang besar yg kokoh berdiri seolah mengapit teluk pantai ini, gulungan gelombang birunya air laut yg menepi menjadi ombak. Berjalan mendekati pantai, semilir angin laut membuat kita lupa akan panas terik matahari walaupun di tengah hari, suara gemuruh ombak pun semakin terdengar jelas.



Bercampur dengan hamparan pasir, terdapat pula sisa sisa hewan laut yg terbawa ombak ke pantai, beragam jenis hewan laut dan juga batu batuan laut dapat kita jumpai di sini, bahkah boleh diambil untuk dibawa pulang, tiada larangan seperti di pantai Sanur Bali.










Jika anda memilih untuk berenang, sebaiknya supaya lebih berhati hati di sini, karena ombak yg cukup besar dan seringnya pasang surut air laut, serta pengelola pantai juga menyarankan untuk tidak berenang di pantai, ini berbeda dengan pantai Teleng Ria yg mempunyai ombak relatif kecil sehingga jika hanya untuk sekedar berenang direkomendasikan untuk ke sana.
Setelah puas atau capek di bibir pantai dan saatnya beristirahat, maka di dekat parkir mobil ada beberapa warung yg menyediakan makanan dan minuman. Memang belum banyak bangunan yg berdiri di sini, baik pedagang maupun fasilitas lainnya, namun untuk MCK dan Mushola telah tersedia di sini.
Memang, eloknya Srau belumlah terkabar luas ke Nusantara apalagi Mancanegara, mengingat pantai ini juga terbilang baru serta fasilitas pendukung oleh pengelola pun juga masih minim.
Jika ada waktu, bulatkan kemauan anda untuk menyambangi pentai mungil nan elok ini, ayo turut mengindahkan keindahan pantai Srau.









Senin, 13 Mei 2013

Orkers Melayu? Kenapa Tidak...






Keberadaan panggung hiburan yg bertajuk Orkes Melayu mungkin masih menjadi suatu ajang komersial yg kontroversional. Yg pro menganggapnya sebuah seni yg menghibur, sedang kubu yg kontra mengecapnya dengan beribu macam nilai negatif sehingga mencetuskan gagasan bahwa pementasan grup musik yg membawakan irama lagu "koplo" itu tak pantas dipertontonkan. Entahlah, alasan apa yg mendasari benak mereka sang kritisi sehingga seolah mengharamkan kehadiran sebuah Orkes Melayu, dari irama musiknya yg bisa mengundang gairah, busana artis wanitanya yg tidak menutup aurat, sampai erotisme panggungnya yg dihiasi goyangan badan tak senonoh oleh para biduan penyanyinya, seakan tak menemui titik buntu akan ide yg membuahkan kritik pada kepopuleran grup dangdut itu.
Orkes Melayu itu kan sebuah grup pentas yg justru kental dengan alunan alunan tembang dangdut, mereka justru lebih banyak membawakan tembang tembang jawa seperti tembang Campur Sari, yg mana itu merupakan sebuah budaya daerah, dengan begitu bukankah keberadaan mereka justru menjunjung tinggi kesenian daerah yg niscaya bakal luntur jika tak dilestarikan, seperti tembang "ojo dipleroki" yg syairnya pun mengingatkan kita untuk tak meninggalkan adat dan budaya ketimuran.
Pun ketenaran suatu nama Orkes Melayu juga terlahir dari angka nol, mungkin saja mereka dulunya adalah seorang musisi jalanan, lalu merintisnya dari panggung hiburan lokal, yg melalui tahap demi tahap serta perjalanan yg panjang hingga akhirnya mereka bisa berkibar bersama bendera yg digawanginya sekarang, masa setelah kiprahnya meraih kesuksesan seperti saat saat sekarang mereka harus turun pamor begitu saja lantaran lemparan sebuah kritikan. Bukankah dari segi karir mereka adalah sama sama musisi, sama sama insan yg menngeluti dunia musik, sama sama manusia yg berkecimpung di dunia seni, sama halnya dengan grup band papan atas yg tengah populer kan?
Soal fashion dan style saat manggung, mungkin kata "hot" untuk sekarang ini hanya ada di sedikit dari nama grup Orkes Melayu, itupun bukan dari nama nama yg tengah melejit seperti OM. New Pallapa, OM. Monata, OM. Sera, dsb. Sekarang bukan jamannya lagi tampil dengan busana minimalis dan lenggangan tubuh yg tidak wajar, tren manggung era sekarang justru lebih tegap untuk menjual suara daripada mengedepankan penampilan yg semi pornografi.

Wiwik Sagita.


Gisulnya itu loh...
Nih pas manggung, selalu pakai Yukensi...
Emang elegan ya pakai Yukensi...
 Artis kelahiran kota Gresik yg identik membawakan tembang tembang melow, bukan saja suaranya yg khas dengan nada tinggi, namun juga khas dengan goyangan jaipongnya, yg bila dinikmati terkesan pas banget dengan irama panduan alat musik yg disajikan oleh delapan orang personil di belakangnya. Rambutnya yg hitam panjang, pipinya yg lesung saat tersenyum dan giginya yg gisul, dengan khas memakai busana yukensi, menambah aduhai keindahannya saat melantunkan lagu melayunya. Sama sekali tak ada unsur yg menunjukkan adanya sebuah erotisme yg menyimpang dari kesopanan.

Rena KDI.

Auranya lugu...
Pas lagi manggumg nih...
Emang se'Anggun namanya...
Anggun Rezeky Rena Wengi, mengawali kiprah tarik suaranya di ajang Kontes Dangdut TPI yg akhirnya melekat pada namanya di kancah Orkes Melayu. Gadis belia berdarah Blitar yg kerap melantunkan lagu "Mawar Bodas" bersama OM. Monata ini tak ubahnya dengan liuk tubuh ala Wiwik, jaipongan. Suaranya yg serak serak basah, dipadu dengan aura wajahnya yg lugu, sangat cocok membawakan tembang yg bersyair sedih dan bernada kalem.

Ratna Antika.
Senyum dikit lagi donk, biar nampak Gisulnya...
Yah... Gisulnya masih belum nampak...
Biduanita asli Banyuwangi ini lebih cocok menyanyikan lagu yg bernada semi rock, dengan wajah cantik yg juga dihiasi dua buah kegisulan pada giginya, terasa pantas beraksi di atas panggung menyelaraskan nada irama rock-dut'nya dengan stylenya yg berbeda dari para sahabatnya, sepertinya jelita kelahiran 2 September 1990 ini punya inovasi gaya tersendiri, yg itu berarti menambah nilai akan kreatifitas di bidang yg ditekuninya.

Agung Juanda.

Lagi duet sama Vivi Rosalita
Kalau ini sama Lilin Herlina
Aduh,,, enak banget dirubung lima biduanita...
Salah satu artis vokal pria, yg dalam penampilannya sering mengenakan "blangkon" di kepalanya, mengentalkan nuansa kejawaan tembang yg dibawakan.

Nah, itu hanya sedikit dari semua artis terkenal yg biasa membintangi beberapa nama Orkes Melayu yg tengah berkibar. Diamati sedetail apapun juga, tak terasa adanya sebuah unsur pornografi yg menyimpang dari ajang hiburan seni musik dangdut. Buat aku, kehadiran Orkes Melayu adalah murni sebuah hiburan, yg indah untuk disaksikan, didengar, dan diresapi, tiada niat untukku menantikan adanya sebuah erotisme yg suka menjadi kontroversi. Apalagi dengan jiwaku yg amat mencintai adat istiadat dan budaya ala daerahku, sungguh adem rasa hati ini tatkala mendengarkan dendangan musik yg megiringi artis favoritku menyanyikan tembang tembang Campursari Jawa. Jadi jika ada tanya untukku tentang keberadaan Orkes Melayu, maka jawabannya, Kenapa Tidak?

Runtuhnya Kejayaan Wartel


Selama apa sih anda mengenal Hand Phone? Ya bagi anda yg dari dulu memang sudah eksis dengan HP, mungkin kehadirannya sudah bukan hal baru lagi di genggaman anda. Namun bagi orang kampung seperti saya, yg bukan serta merta tertinggal dari kemajuan teknologi akan tetapi juga dalam hal budget sebagai prasarananya, rasa rasanya HP itu masih sebuah sesuatu yg baru.
Anggapan demikian mungkin lantaran sebelumnya saya sempat mengenal dan memanfaatkan jasa wartel, hal itu menciptakan compare dalam diri tentang romantika komunikasi dahulu dan saat ini, sehingga semasih wartel belum hilang sepenuhnya dari nostalgia kita, kehadiran telepon selular dalam genggaman masih saja terasa belumlah lampau.
Realitanya, walaupun sebatas suara namun komunikasi pada saat itu belumlah segampang yg dilihat mata pada saat ini. Untuk membicarakan sesuatu yg penting ataupun sekedar melepas rindu, saat itu harus memakai jasa telepon yg disediakan wartel. Dan bagi yg tempat tinggalnya berjarak dengan jangkauan wartel maka muncul satu beban lagi, yaitu urusan transportasi karena bersamaan dengan eksistensi wartel dulu yg namanya sepeda motor belumlah menjamur seperti sekarang, lebih lebih di kampung saya.
Akan bertambah susah lagi apabila yg dihubungi tidak menjawab. Untuk saat ini urusan seperti itu tidaklah terlalu menuai masalah dalam konteks yg ingin dibicarakan bukanlah sesuatu yg penting dan sesegera mungkin, dengan HP yg portable kita bisa setiap waktu sekali mengulangi panggilan, pun tidak demikian besar kemungkinan nomor yg hendak dituju akan melakukan panggilan balik begitu mengetahuinya, lha kalau dulu masa mau telepon balik ke wartel?
Di daerah saya dulu, Purwantoro-Wonogiri, jika hendak ke wartel awalnya harus ke Jawa Timur, minimal harus ke kecamatan Sumoroto, tapi kalau ingin yg lebih terjamin kejernihannya harus ke kota Ponorogo.
Lambat laun akhirnya di Purwantoro pun terdapat wartel, sedikit mengurangi beban dalam hal transportasi serta efesiensi waktu. Makin hari wartel di Purwantoro pun makin pula berimbuh, sehingga memungkinkan orang memilih dimana watel yg terjamin sambungan suarannya, dan tentunya juga mengurangi antrian jikalau secara kebetulan beberapa orang ingin melakukan panggilan telepon dalam waktu yg bersamaan.
Sebagai alternatif dalam mengurai persaingan antar watel, ada satu wartel yg menyediakan layanan penerimaan telepon. Jadi seandainya ada keluarga kita yg merantau di luar daerah ingin membicarakan sesuatu atau hanya sekedar memberi kabar pada kita yg di kampung, maka bisa telepon ke nomor wartel tersebut, dan penjaga watel itu akan mengubah suara yg disampaikan dalam bentuk teks, kemudian selembar kertas yg telah tertulis pesan itu akan diantarkan oleh tukang ojeg ke alamat kita, dan kita hanya dikenakan administrasi untuk membayar jasa tukang ojegnya saja, soal jasa wartel 100% free.
Seiring pesatnya teknologi, satu demi satu operator selular menggercar pembangunan tower di berbagai penjuru bahkan hingga ke pelosok, tidak terkecuali di daerahku. Sedikit demi sedikit orang pun mulai mengenal HP, di dukung sinyal yg makin hari makin kuat serta harga HP yg justru relatif terjangkau hingga kalangan bawah, membuat para pengusaha wartel mulai gragapan memperjuangkan eksisitensinya sebagai mitra para pengguna telepon kabel, dan seperti tinggal menunggu waktu, lambat namun pasti wartel pun satu per satu harus menelan pil pahit lantaran ditinggalkan customer yg beralih ke telepon selular, dan di situ lah masa kejayaan wartel harus runtuh diluluh lantahkan keganasan teknologi.

Selasa, 16 April 2013

Wong Jowo ilang Jawa-ne

Indonesia, negeri yg identik dengan keragaman suku, budaya, tradisi, dan adat. Memang sewajarnya, perbedaan itu ada, dan itulah yg justru menjadi unsur unsur nilai persatuan dan kesatuan lewat moto berbeda beda tetap satu jua.
Namun, bagaimana seandainya ciri khas yg menjadi identitas suatu suku itu perlahan luntur dari aslinya? Pelan mulai ditinggalkan, lambat laun mulai melebur dan hingga akhirnya lenyap tinggal sejarahnya saja.

Suku Jawa, dengan rumah adat Joglo, bahasa Jawa yg mencangkup Basa Krama dan Basa Ngoko merupakan bahasa kesehariannya, serta pakaian adatnya yg disebut dengan busana Kejawen. Inilah salah satu contoh sebuah adat dari beraneka ragam adat yg ada di Indonesia ini.
Sayang, muda mudi darah daging suku yg mencangkup tiga Provinsi besar ini serasa tak kuasa mengedepankan apa yg telah menjadi tradisi turun temurun dari nenek moyangnya dulu, gegap gempita kehidupan kota seakan menjadi momok yg mempengaruhi jiwa remaja jaman sekarang untuk sedikit demi sedikit meninggalkan fanatismenya sebagai Wong Jowo.
Seperti apakah tersebut???

Siang itu, Bapakku memanggil, segera aku keluar dari kamar tidurku, menyudahi istirahat siangku untuk menemuinya. Entah tugas apa yg mesti ku jalani sebagai rutinitasku saat di kampung, foto copy kah, atau nge-fax, apa mungkin beli ATK, atau yg lain malah, deg deg jantungku, ingin segera ku mengetahui apa yg harus ku lakukan sebagai anak yg patuh akan perintah orang tua, hehe...
"Jikukno duit nganggo ATM Mandiri sek, terus transfer nyang rekening iki nganggo ATM Niaga, ATM BCA yo dicek sekalian ono transferan mlebu opo ora". Wah, kok tugasnya seperti sekali mengayun dayung dua tiga pulau terlampaui begini. Tapi apa boleh buat, katanya anak yg taat, yo wes lah berangkat...
Terasa juga ya susahnya kalau gak punya M-Bangking dan sejenisnya, di HP sih sudah terinstal Mandiri Mobile, lha tapi kan suruh ambil uang cash, mana bisa lewat HP. BCA juga cuma menyediakan aplikasi sejenis sementara untuk HP brand BlackBerry saja, gadgetku kan jadul banget, gak bisa juga deh. Kalau CIMB Niaga, software GO Mobile Bangking sudah jalan seh, tapi belum aktifasi, hehe sama saja gak bisa, alias harus tetep ke ATM Center.
Mumpung motor punya adik'ku cewek yg super nakal lagi nganggur, dia juga lagi gak ada, situasi yg pas neh, aman terkendali, kalau sampai ketauan kan ribet, bisa marah marah, ngomel ngomel, dan akhirnya nangis deh, yaah ntar Mama juga yg repot, kasihan... Ya sudah Ma, aku berangkat, keburu anak kesayangannya tau, bisa bikin geger orang se-RT nanti...

Sampe di ATM BRI unit Purwantoro, satu satunya ATM Bersama yg lokasinya paling dekat dari rumahku. Syukur deh, gak antri banget, kalau hari masih pagi biasanya antrinya seperti orang mau ambil sembako saja.
Satu orang keluar, satunya lagi masuk, ada yg datang lagi, antri donk di belakangku, hehe budayakan antri kan cermin pribadi...
Tiba giliranku memasuki ruang ATM, yaah mesin yg isinya uang nominal 50 ribu sedang ada yg memakai, padahal kan Bapak suka complain kalau aku ambilin uang pecahan 100 ribu, ya sudahlah ambil uang cashnya nanti dulu, sekarang cek saldo BCA saja yg cepet, tanpa harus menunggu uang keluar, dan menanti struk melilit dari dalam, jadi ibu ibu yg sedang nunggu giliran di belakangku gak kelamaan berdiri di depan pintunya. Yups, ternyata ada transferan masuk, aduh ntar dapat komisi gak ya dari Bapak, semoga aja deh...
Kartu ATM BCA keluar dari mesin, mau masukin kartu ATM Niaga, eh tapi kalau transfer kan bisa aja lama, siapa tau aku salah masukin nomor rekening atau nomor kode bank, mending keluar dulu lah, kasihan ibu ibu itu kali aja uangnya mau cepet cepet buat belanja sayur, aku kembali ke nomor antrian paling belakang dengan dua amanah yg masih teremban di tangan.
Kok mbak mbak yg di ATM 50 ribuan tadi belum keluar keluar juga sih, berapa banyak to uang yg mau diambil, lha wong kalau dari tadi cuma ambil uang aja, masa sampe sekarang belum selesai, kok limit transaksi hariannya belum habis ya??? Tanya kenapa??? Yaah mungkin aja mbak mbak yg lagi sama Bapaknya itu pakai ATM Card Platinum, jadi no limit kali ya, wooow...
Eh, sudah tiba lagi di giliranku, masuk lagi ah... Kali ini cuma bisa menyelesaikan satu tugas dari dua yg tersisa aja deh, transfer dengan ATM Niaga. Sip, lancar transaksinya, gak salah pencet atau kecelakaan lainnya, keluar lagi ah sambil nunggu mbaknya sebelah itu selesai menghabiskan isi uang di kartu ATM nya.
Detik berjalan, ter'asumsi menjadi menit, sudah berapa lama aku menanti, gantian donk mbak, masa orang Jawa gak punya rasa tepo sliro sih, dari tadi banyak yg antri tapi gak juga kebagian, ini kan ATM umum mbak, bukan milik mbak pribadi...
Seusai suasana sepi, tanpa ada seorang pun yg meramaikan penantian ini, aku berdiri di balik pintu kaca, mencoba mengintip mencari jawaban atas ketidak wajaran dua orang pemakai ATM itu, siapa tau mereka adalah spesialis pembobol ATM, hehe ngaco...
Setelah mata ini berhasil melirik aktifitas monitor, ternyata oh ternyata, mbak ini melebihi batas maksimal nominal per tarikan, mesin di ATM ini kan hanya mampu mengeluarkan uang senilai satu juta saja per tarikan, itu juga sudah ada notifikasinya sewaktu yg bersangkutan akan memasukkan jumlah uang yg mau diambil, kalau jumlah yg dimasukkan melebihi batas atas ya jelas uang gak akan keluar, justru yg ada hanya sebuah peringatan "JUMLAH UANG TERLALU BESAR, MASUKKAN NILAI YANG LEBIH KECIL" di layar, tapi entah kenapa, notifikasi ataupun peringatan itu kok diabaikan sehingga hanya memperlambat proses transaksi di ATM ini saja.
Gak mau berlama lama, setelah tau biang keladi yg menghambat aktifitasku, aku langsung saja ke dalam menyusul mbak itu, hehe cuma mau bantu aja seh, gak ada niat apa apa, wong ada Bapaknya juga. Dalam hati merasa ikhlas membantu, ya maklum lah, namanya orang kalau belum terbiasa, kesalahan merupakan hal yg wajar, gak berbeda dengan aku dulu sewaktu masih dalam tahap awal menggunakan mesin ATM. Apalagi ini kan di kampung, bukan di kota besar, lebih lebih adanya ATM ini juga belum bisa dikatakan lama, tak khayal masih ada yg kadang belum paham sepenuhnya, toh itu Bapak mengenakan kemeja batik, tanda identifikasi kejawaannya yg amat kental, pikiranku sesama wong jowo saling membantu lah...
"Mbak, niki nek badhe mendhet arto paling kathah namung sejuta, nek badhe mendhet kalih juta nggih ping kalih, sejuta sejuta...", hehe bukan sok tau, tapi alangkah indahnya berbagi, kali aja dapat respon lebih, cewek neh...
"Oh gitu ya mas, pantesan dari tadi gak bisa mulu mo ambil dua juta langsung...", alangkah terkejutnya aku, irama jantungku seolah menggetarkan seluruh badan ini, mendengar kalimatnya yg memakai bahasa Indonesia. Apa karena penampilanku yg etis ini, jadi dikiranya aku adalah orang kota, hehe kepedean, tapi kan aku sendiri aja tadi pakai basa krama alus, pasal mana yg menuntutnya membalasku dengan bukan memakai basa jawa yg notabane adalah bahasa daerahnya. Ku balas saja dengan sedikit senyuman untuk meng'iya'i kata katanya itu, meski ini adalah senyum di dalam kesal.
"Jadi gini caranya, tau gini dari tadi, pasti gak bakalan lama, capek... Mas makasih ya udah di kasih tau...", siapa cowok yg gak seneng dapat sebuah ucapan terima kasih dari seorang cewek, mungkin begitulah jujurku mengatakannya, tapi karena ucapan itu dihiasi oleh kata kata yg tak selayaknya dipakai di tempat ini dan di waktu sekarang, aku justru semakin kesal menerima hadiah ucapan itu. Sekali lagi hanya ku balas dengan senyuman kurang ikhlas ku.
Setelah berhasil menadah uang dua juta, akhirnya selesailah transaksi cewek yg style busananya gak sepadan dengan style lidahnya itu. "Bapak mo belajar dulu gak, ya latihan ngecek saldo gitu aja..." eh tak kira sudah selesai, lha kok masih ada acara lanjutan segala to, ini kan ATM Center mbak, bukan ATM School. "Iyo nduk, tak njajal ben iso", jawaban Bapak itu pada anak kota kebanggaannya itu. "Sekedap nggih mas, badhe latihan...", seraya meminta ijin padaku yg tak disadarinya jikalau tengah menunggunya dari tadi, tapi Bapaknya juga bisa bicara pakai basa krama alus, toh kenapa kok lidah putrinya beku akan bahasa tempat tanah kelahirannya, hmmm sulit untuk'ku mengerti.
"Mbak, menawi pengen latihan, ngangge ATM ingkang sebelah mriki mawon, kulo sampun sakuntawis ngentosi sampeyan mboten rampung rampung, wong kulo nggih badhe mendhet arto...", pintaku untuk mereka supaya menggunakan mesin ATM pecahan 100 ribuan yg tengah nganggur, supaya aku lekas bisa mengambil uang dengan lembaran 50 ribuan.
"Ya udah deh mas, ayo pak pake yg ini aja...", jawabnya sambil beralih menuju ATM yg satunya. Aku heran, sebenarnya dia bisa menangkap omonganku yg memakai basa jawa, itu berarti dia menguasainya, tapi kenapa dia membalasnya dengan bahasa Indonesia? Inikah sedikit contoh "Wong Jawa ilang Jawa-ne"...

Seandainya saat itu juga memungkinnkan, aku begitu greget ingin menguak siapa dia. Dari penampilannya tak ada yg menonjol dari kesan sederhana, pun di situ juga tak terparkir sebuah mobil mewah ber-plat B.
Aku juga anak rantau Ibukota, tapi aku tau, kapan, dimana, dengan siapa, dan bagaimana aku berbicara, justru saat saat di kampung itu seakan menjadi moment yg menyenangkan bagiku, karena aku bisa ngomong leluasa dengan logat dan basa jawa yg menjadi kebanggaan wong jowo, berbeda jika aku sedang di Jakarta yg keadaannya memang kadang mengharuskanku memakai bahasa Indonesia sebagai fungsinya yaitu bahasa pemersatu antar suku.
Bukan kok menganggap kampung itu adalah arena untuk unjuk kebolehan, ajang gengsi, sarana pamer, akan dirinya yg melanglang jagad di kota, sehingga sok sok'an lupa akan bahasa tradisionalnya yg merupakan ragam adat istiadat dari masing masing daerah.

Andai saja ada yg tau siapa gadis itu, atau malah dia tengah membaca tulisan ini, maka aku hanya ingin berbicara...
"Mbak, rupamu ora ayu, nek kemayu malah ora laku...
Penganggo'mu pas-pasan, nek sok-sok'an malah dadi guyonan...
Jan oleh'mu kemreko nganggo boso kutho, jebule nganggo ATM wae yo ora iso...
Nadyan ing kutho sabamu, elingo dununge lahir lan gedhemu...
Iso urip penak lan kahanan, ojo ninggalke kapribaden ketimuran...
Kuat tuku bondho maneko rupo, rumangsan'ono cikal'mu bocah ndeso...
Bolong ombo iso dileboni, wong jowo ayo njawa-ni...".

Rabu, 16 Januari 2013

Please Help ala Bandungan


Mungkin foto foto ini merupakan gambaran keceriaan di balik letihnya menyusuri liku jalan Purwantoro (Wonogiri) hingga Bandungan (Semarang) di first day tahun ini. Inilah kali pertama aku menjalani traveling dan refreshing bersama teman dan saudara tanpa adanya sedikitpun kawalan dari orang tua kami, bahkan mobil sewaan persembahan dari bapakku pun tak ubahnya hanya dinahkodai seorang anak yg usianya tak lebih dewasa dariku. Dan entah kenapa, dalam keadaan yg mengharuskan aku dan rombongan untuk belajar sok mandiri ini, kami justru dihadapkan dengan sesuatu yg niscaya menodai kegembiraan yg pastinya adalah tujuan mutlak saat berwisata. Dari kesemua penduduk dalam kabin Suzuki Futura merah maron yg membawa jiwa kami ber-sembilan, tiada sepasang bola mata yg tahu akan kemana arah manuver ban depan supaya mencapai tujuan acara touring ini, memang sih aku adalah otak di balik semua ini, aku yg memilih kemana tempat yg nanti tertuju, namun siapa sangka jikalau ternyata pemegang kendali setir mobil itupun juga buta akan kelok jalan daerah Semarang. Alhasil, imbas dari ke'tidak-paham'an ini tentu saja melahirkan satu peristiwa baru dalam acara senang senang sambut tahun 2013, yaitu "nyasar". Setelah tanya sana sini, akhirnya Tuhan pun andil dalam menuntun kami menuju obyek yg terletak di Kabupaten tempat karoseri fenomenal "LAKSANA" berkibar itu, hanya saja dalam pandangan ngawur'ku, tak pernah terpikirkan jika jarak tempuh sejauh ini, belum lagi kemacetan parah akibat melonjaknya wisatawan peserta pergantian tahun dan rintik hujan yg menambah kelabu hati makin menjadi jadi. Namun di sisi tersembunyi dari hadapan situasi kondisi yg tak merangkul tersebut, dengan tegasnya ku nyatakan inilah moment tour yg paling indah dari yg sudah terlalui sebelumnya. Yups, Candi Gedong Songo, tempat wisata yg terletak di kawasan Bandungan, Ungaran, Semarang... Obyek candi peninggalan sejarah yg berdiri di area perbukitan dengan latar panorama hijau pepohonan, asap belerang, dan terkadang beselimut kabut putih. Memang, kemegahan kelima candi disini tak selegendaris candi Prambanan yg menyimpan sejarah penghianatan cinta seorang Roro Jonggrang pada Bandung Bondowoso, pun namanya tak jua berkibar layaknya candi Borobudur yg terangkum dalam kategori keajaiban dunia. Sebelum tercapainya titik tujuan wisata kami, di tengah rintik hujan yg mengguyur tanah Semarang ketika itu, kami kembali dihadapkan dengan fenomena yg serasa menghambat laju pendakian kami ke puncak bukit Gedong Songo, ban mobil yg membawa kami bocor di tengah perjalanan. Jalan yg saat itu dilintasi adalah jalan akses menuju candi, sebuah jalan pedesaan yg hanya pas pas'an dilalui oleh dua kendaraan roda empat. Tentu saja menambah kendala, dengan keadaan jalan selebar itu di tengah padatnya kavling kavling hiburan, kami mengalami kesulitan dalam mencari area parkir untuk sekedar mengganti roda yg naas tersebut. Bermodal rasa nekad serta mental yg kuat jikalau nanti menjadi tersangka tamu tak diundang dan alhasil diusir, akhirnya kami memberanikan diri untuk mengarahkan lingkar setir ke pelataran sebuah tempat karaoke. Rasa was was, deg deg'an akan kekhawatiran tidak dibolehkanya menumpang parkir oleh sang empunya rumah terukir di sembilan hati kami, untuk menghindarinya kami sepakat membuka payung sebelum diguyur hujan, yaitu meminta izin kepada sang pemilik lapak karaoke itu. Salah satu dari kami mencoba mencari dimana keberadaan seorang yg ada di tempat itu, keadaan tempatnya cukup mewah, bersih, dan luas, bahkan kamar karaoke yg tertatap oleh mataku pun mencapai 12 unit, di pedesaan seperti itu tergolong kavling hiburan yg berkelas lah, maka tentu saja hati kami semakin sempit dari harapan. "Ada apa mas?", sambutan pertama kali yg dilontarkan seorang bapak paruh baya yg berhasil pertama kali kami temui. Dalam hati berkata kata, betapa kecewanya bapak ini setelah nanti beliau tahu akan niat kami, padahal ini adalah tempat karaoke, yg mana biasanya tamu yg ke sini adalah dengan tujuan menyewa kamar untuk menyuarakan pita tenggorokanya lewat alunan tembang favoritnya, pun demikian kami tetap melancarkan aksi kejujuran akan niat meminta belas kasihan semata. "Maaf pak, ban mobil kita pecah, bolehkan kami numpang parkir disini untuk mengganti ban?", itulah kalimat permintaan tolong yg terucap dari lidah salah satu rombonganku. Dan betapa senangnya hati ini saat beliau menjawab, "Oh ya mas, monggo... Lebih eneknya mobilnya dimajuin kesini saja mas, yg teduh jadi tidak kehujanan...", hmmm... pucuk dicinta ulam pun tiba, sudah diperbolehkan numpang tempat parkir darurat, masih direkomendasikan supaya tak basah kuyub saat mengganti ban. "Gak papa pak kalau mobilnya dimajukan?", tanyaku membuang keraguan hati akan kemuliaan naluri seorang bos tempat karaoke. "Gak papa, tetapi kalau disini bayar 25 ribu mas, hahaha... gak kok mas, dimajuin saja gak apalah", candaan'nya pada kami. Mobil yg apespun lantas dimajukan dan kami memulai pekerjaan P3K (Pertolongan Pertama Pada ban Kempes). Setelah semua alat siap, langkah pertama adalah membuka empat baut roda yg hendak diganti, ups namun kok kunci shok'nya tidak cocok dengan ukuran diameter baut velgnya, ya ampun... belum cukupkah cobaan yg harus kami lalui di awal tahun ini ya Allah? Mau mencari kunci shok kemanakah ini, tak ada solusi lain selain kembali mengajukan tanya pada tuan rumah yg baik hati. Butiran reruntuhan air dari langit makin mengguyur, bapak itu pun merelakan diri berjalan di bawah payung menerobos derasnya hujan yg tengah turun sebagai jawaban dari pertanyaan darurat kami, melangkahkan kakinya di atas genangan air hujan yg menumpuk untuk membantuku menemukan sebuah pinjaman kunci yg mutlak ku butuhkan. Entah imbalan apa yg pantas ku anugerahkan sebagai tanda kemuliaan seorang relawan bagiku itu. Meskipun beliau kembali dengan tangan hampa, namun sungguh ku menghargai kebaikan beliau yg ikhlas berperang melawan dinginnya siang itu. "Gak ada yg punya kunci mas, soalnya juga jarang deket deket sini yg punya mobil", ungkapnya dengan sedikit rasa belas kasihan pada kami yg sedang menunggu buah pinjaman darinya. "Ya sudah pak, gak apa apa lah, biar kami mencari sendiri. Sekali lagi maaf ya pak, telah ngrepotin bapak berkali kali"... "Ya gak apalah, nanti kalau suatu saat saya berkunjung ke tempat kalian, saya juga yg ganti ngrepotin kalian, minta tolong sama kalian", kata katanya menggambarkan adat tolong menolong yg masih membudaya di nalurinya. Akhirnya sekarang giliran kami yg harus menantang derasnya hujan untuk berusaha mendapatkan sebuah kunci shok, alhasil kami mendapatkan pinjaman dari seorang tukang tambal ban yg nampaknya bapak tuan rumah tak mengenalinya, sehingga tadinya beliau berkata bahwa tidak ada tempat tambal ban di sekitar sini. Basah kuyup tampias air tak menyurutkan kerja kami dalam mengeksekusi ban belakang kiri dan menggantinya dengan ban cadangan darurat. Setelah langkah demi langkah terlewati, ban pun siap untuk kembali difungsikan sebagai penompang berat kendaraan beserta sembilan tubuh kami, mobil pun siap untuk melanjutkan race yg tertunda oleh pitspot. "Pak, mobil kami sudah jadi, terima kasih ya pak atas kebaikannya turut membantu kami", ucapan terima kasihku yg terakhir kalinya pada beliau, sembari seorang temanku berniat memberikan sebuah tanda terima kasih yg tak seberapa nilainya menyanggupi candaan yg pernah dikatakan beliau di awal tadi. Bukan maksud kami untuk menghargai kemuliaan hati beliau dengan uang, namun kami sadar jikalau telah banyak merepotkan beliau, yaaa itung itung lah sedikit uang ini adalah bea parkir di lahan yg telah kami sewa tak kurang dari satu jam. Mungkin suatu kebahagiaan bagiku, andai saja bapak tersebut mau menerima barang tak berharga itu, namun sayang, secuilpun saja sesuatu itu tak pula diambilnya, beliau menolaknya dengan penuh santun dan halusnya kata kata. Sungguh sebuah fenomena langka yg hampir punah di jagad merah putih ini, bapak ini mungkin adalah satu dari seribu sosok yg berjuang menjadi pelopor pelestarian budaya "tulung tinulung" yg semestinya masih subur tertanam di jiwa seorang Wong Jowo. Andai saja, dimana aku berpijak, disitu ada naluri seindah yg ku dapati itu, hmmmmm.... alangkah indahnya hidup.