Selasa, 16 April 2013

Wong Jowo ilang Jawa-ne

Indonesia, negeri yg identik dengan keragaman suku, budaya, tradisi, dan adat. Memang sewajarnya, perbedaan itu ada, dan itulah yg justru menjadi unsur unsur nilai persatuan dan kesatuan lewat moto berbeda beda tetap satu jua.
Namun, bagaimana seandainya ciri khas yg menjadi identitas suatu suku itu perlahan luntur dari aslinya? Pelan mulai ditinggalkan, lambat laun mulai melebur dan hingga akhirnya lenyap tinggal sejarahnya saja.

Suku Jawa, dengan rumah adat Joglo, bahasa Jawa yg mencangkup Basa Krama dan Basa Ngoko merupakan bahasa kesehariannya, serta pakaian adatnya yg disebut dengan busana Kejawen. Inilah salah satu contoh sebuah adat dari beraneka ragam adat yg ada di Indonesia ini.
Sayang, muda mudi darah daging suku yg mencangkup tiga Provinsi besar ini serasa tak kuasa mengedepankan apa yg telah menjadi tradisi turun temurun dari nenek moyangnya dulu, gegap gempita kehidupan kota seakan menjadi momok yg mempengaruhi jiwa remaja jaman sekarang untuk sedikit demi sedikit meninggalkan fanatismenya sebagai Wong Jowo.
Seperti apakah tersebut???

Siang itu, Bapakku memanggil, segera aku keluar dari kamar tidurku, menyudahi istirahat siangku untuk menemuinya. Entah tugas apa yg mesti ku jalani sebagai rutinitasku saat di kampung, foto copy kah, atau nge-fax, apa mungkin beli ATK, atau yg lain malah, deg deg jantungku, ingin segera ku mengetahui apa yg harus ku lakukan sebagai anak yg patuh akan perintah orang tua, hehe...
"Jikukno duit nganggo ATM Mandiri sek, terus transfer nyang rekening iki nganggo ATM Niaga, ATM BCA yo dicek sekalian ono transferan mlebu opo ora". Wah, kok tugasnya seperti sekali mengayun dayung dua tiga pulau terlampaui begini. Tapi apa boleh buat, katanya anak yg taat, yo wes lah berangkat...
Terasa juga ya susahnya kalau gak punya M-Bangking dan sejenisnya, di HP sih sudah terinstal Mandiri Mobile, lha tapi kan suruh ambil uang cash, mana bisa lewat HP. BCA juga cuma menyediakan aplikasi sejenis sementara untuk HP brand BlackBerry saja, gadgetku kan jadul banget, gak bisa juga deh. Kalau CIMB Niaga, software GO Mobile Bangking sudah jalan seh, tapi belum aktifasi, hehe sama saja gak bisa, alias harus tetep ke ATM Center.
Mumpung motor punya adik'ku cewek yg super nakal lagi nganggur, dia juga lagi gak ada, situasi yg pas neh, aman terkendali, kalau sampai ketauan kan ribet, bisa marah marah, ngomel ngomel, dan akhirnya nangis deh, yaah ntar Mama juga yg repot, kasihan... Ya sudah Ma, aku berangkat, keburu anak kesayangannya tau, bisa bikin geger orang se-RT nanti...

Sampe di ATM BRI unit Purwantoro, satu satunya ATM Bersama yg lokasinya paling dekat dari rumahku. Syukur deh, gak antri banget, kalau hari masih pagi biasanya antrinya seperti orang mau ambil sembako saja.
Satu orang keluar, satunya lagi masuk, ada yg datang lagi, antri donk di belakangku, hehe budayakan antri kan cermin pribadi...
Tiba giliranku memasuki ruang ATM, yaah mesin yg isinya uang nominal 50 ribu sedang ada yg memakai, padahal kan Bapak suka complain kalau aku ambilin uang pecahan 100 ribu, ya sudahlah ambil uang cashnya nanti dulu, sekarang cek saldo BCA saja yg cepet, tanpa harus menunggu uang keluar, dan menanti struk melilit dari dalam, jadi ibu ibu yg sedang nunggu giliran di belakangku gak kelamaan berdiri di depan pintunya. Yups, ternyata ada transferan masuk, aduh ntar dapat komisi gak ya dari Bapak, semoga aja deh...
Kartu ATM BCA keluar dari mesin, mau masukin kartu ATM Niaga, eh tapi kalau transfer kan bisa aja lama, siapa tau aku salah masukin nomor rekening atau nomor kode bank, mending keluar dulu lah, kasihan ibu ibu itu kali aja uangnya mau cepet cepet buat belanja sayur, aku kembali ke nomor antrian paling belakang dengan dua amanah yg masih teremban di tangan.
Kok mbak mbak yg di ATM 50 ribuan tadi belum keluar keluar juga sih, berapa banyak to uang yg mau diambil, lha wong kalau dari tadi cuma ambil uang aja, masa sampe sekarang belum selesai, kok limit transaksi hariannya belum habis ya??? Tanya kenapa??? Yaah mungkin aja mbak mbak yg lagi sama Bapaknya itu pakai ATM Card Platinum, jadi no limit kali ya, wooow...
Eh, sudah tiba lagi di giliranku, masuk lagi ah... Kali ini cuma bisa menyelesaikan satu tugas dari dua yg tersisa aja deh, transfer dengan ATM Niaga. Sip, lancar transaksinya, gak salah pencet atau kecelakaan lainnya, keluar lagi ah sambil nunggu mbaknya sebelah itu selesai menghabiskan isi uang di kartu ATM nya.
Detik berjalan, ter'asumsi menjadi menit, sudah berapa lama aku menanti, gantian donk mbak, masa orang Jawa gak punya rasa tepo sliro sih, dari tadi banyak yg antri tapi gak juga kebagian, ini kan ATM umum mbak, bukan milik mbak pribadi...
Seusai suasana sepi, tanpa ada seorang pun yg meramaikan penantian ini, aku berdiri di balik pintu kaca, mencoba mengintip mencari jawaban atas ketidak wajaran dua orang pemakai ATM itu, siapa tau mereka adalah spesialis pembobol ATM, hehe ngaco...
Setelah mata ini berhasil melirik aktifitas monitor, ternyata oh ternyata, mbak ini melebihi batas maksimal nominal per tarikan, mesin di ATM ini kan hanya mampu mengeluarkan uang senilai satu juta saja per tarikan, itu juga sudah ada notifikasinya sewaktu yg bersangkutan akan memasukkan jumlah uang yg mau diambil, kalau jumlah yg dimasukkan melebihi batas atas ya jelas uang gak akan keluar, justru yg ada hanya sebuah peringatan "JUMLAH UANG TERLALU BESAR, MASUKKAN NILAI YANG LEBIH KECIL" di layar, tapi entah kenapa, notifikasi ataupun peringatan itu kok diabaikan sehingga hanya memperlambat proses transaksi di ATM ini saja.
Gak mau berlama lama, setelah tau biang keladi yg menghambat aktifitasku, aku langsung saja ke dalam menyusul mbak itu, hehe cuma mau bantu aja seh, gak ada niat apa apa, wong ada Bapaknya juga. Dalam hati merasa ikhlas membantu, ya maklum lah, namanya orang kalau belum terbiasa, kesalahan merupakan hal yg wajar, gak berbeda dengan aku dulu sewaktu masih dalam tahap awal menggunakan mesin ATM. Apalagi ini kan di kampung, bukan di kota besar, lebih lebih adanya ATM ini juga belum bisa dikatakan lama, tak khayal masih ada yg kadang belum paham sepenuhnya, toh itu Bapak mengenakan kemeja batik, tanda identifikasi kejawaannya yg amat kental, pikiranku sesama wong jowo saling membantu lah...
"Mbak, niki nek badhe mendhet arto paling kathah namung sejuta, nek badhe mendhet kalih juta nggih ping kalih, sejuta sejuta...", hehe bukan sok tau, tapi alangkah indahnya berbagi, kali aja dapat respon lebih, cewek neh...
"Oh gitu ya mas, pantesan dari tadi gak bisa mulu mo ambil dua juta langsung...", alangkah terkejutnya aku, irama jantungku seolah menggetarkan seluruh badan ini, mendengar kalimatnya yg memakai bahasa Indonesia. Apa karena penampilanku yg etis ini, jadi dikiranya aku adalah orang kota, hehe kepedean, tapi kan aku sendiri aja tadi pakai basa krama alus, pasal mana yg menuntutnya membalasku dengan bukan memakai basa jawa yg notabane adalah bahasa daerahnya. Ku balas saja dengan sedikit senyuman untuk meng'iya'i kata katanya itu, meski ini adalah senyum di dalam kesal.
"Jadi gini caranya, tau gini dari tadi, pasti gak bakalan lama, capek... Mas makasih ya udah di kasih tau...", siapa cowok yg gak seneng dapat sebuah ucapan terima kasih dari seorang cewek, mungkin begitulah jujurku mengatakannya, tapi karena ucapan itu dihiasi oleh kata kata yg tak selayaknya dipakai di tempat ini dan di waktu sekarang, aku justru semakin kesal menerima hadiah ucapan itu. Sekali lagi hanya ku balas dengan senyuman kurang ikhlas ku.
Setelah berhasil menadah uang dua juta, akhirnya selesailah transaksi cewek yg style busananya gak sepadan dengan style lidahnya itu. "Bapak mo belajar dulu gak, ya latihan ngecek saldo gitu aja..." eh tak kira sudah selesai, lha kok masih ada acara lanjutan segala to, ini kan ATM Center mbak, bukan ATM School. "Iyo nduk, tak njajal ben iso", jawaban Bapak itu pada anak kota kebanggaannya itu. "Sekedap nggih mas, badhe latihan...", seraya meminta ijin padaku yg tak disadarinya jikalau tengah menunggunya dari tadi, tapi Bapaknya juga bisa bicara pakai basa krama alus, toh kenapa kok lidah putrinya beku akan bahasa tempat tanah kelahirannya, hmmm sulit untuk'ku mengerti.
"Mbak, menawi pengen latihan, ngangge ATM ingkang sebelah mriki mawon, kulo sampun sakuntawis ngentosi sampeyan mboten rampung rampung, wong kulo nggih badhe mendhet arto...", pintaku untuk mereka supaya menggunakan mesin ATM pecahan 100 ribuan yg tengah nganggur, supaya aku lekas bisa mengambil uang dengan lembaran 50 ribuan.
"Ya udah deh mas, ayo pak pake yg ini aja...", jawabnya sambil beralih menuju ATM yg satunya. Aku heran, sebenarnya dia bisa menangkap omonganku yg memakai basa jawa, itu berarti dia menguasainya, tapi kenapa dia membalasnya dengan bahasa Indonesia? Inikah sedikit contoh "Wong Jawa ilang Jawa-ne"...

Seandainya saat itu juga memungkinnkan, aku begitu greget ingin menguak siapa dia. Dari penampilannya tak ada yg menonjol dari kesan sederhana, pun di situ juga tak terparkir sebuah mobil mewah ber-plat B.
Aku juga anak rantau Ibukota, tapi aku tau, kapan, dimana, dengan siapa, dan bagaimana aku berbicara, justru saat saat di kampung itu seakan menjadi moment yg menyenangkan bagiku, karena aku bisa ngomong leluasa dengan logat dan basa jawa yg menjadi kebanggaan wong jowo, berbeda jika aku sedang di Jakarta yg keadaannya memang kadang mengharuskanku memakai bahasa Indonesia sebagai fungsinya yaitu bahasa pemersatu antar suku.
Bukan kok menganggap kampung itu adalah arena untuk unjuk kebolehan, ajang gengsi, sarana pamer, akan dirinya yg melanglang jagad di kota, sehingga sok sok'an lupa akan bahasa tradisionalnya yg merupakan ragam adat istiadat dari masing masing daerah.

Andai saja ada yg tau siapa gadis itu, atau malah dia tengah membaca tulisan ini, maka aku hanya ingin berbicara...
"Mbak, rupamu ora ayu, nek kemayu malah ora laku...
Penganggo'mu pas-pasan, nek sok-sok'an malah dadi guyonan...
Jan oleh'mu kemreko nganggo boso kutho, jebule nganggo ATM wae yo ora iso...
Nadyan ing kutho sabamu, elingo dununge lahir lan gedhemu...
Iso urip penak lan kahanan, ojo ninggalke kapribaden ketimuran...
Kuat tuku bondho maneko rupo, rumangsan'ono cikal'mu bocah ndeso...
Bolong ombo iso dileboni, wong jowo ayo njawa-ni...".